
Palu – Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sulawesi Tengah (Kanwil Kemenkum Sulteng) menghadiri kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Analisis dan Evaluasi Hukum (Anev) terkait Minyak dan Gas Bumi dalam Mendukung Swasembada Energi (Asta Cita Ke-2) yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Kantor Wilayah Kepulauan Bangka Belitung secara daring, Selasa, (7/10/2025).
Kegiatan ini menjadi bagian dari agenda nasional BPHN dalam melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi dan kebijakan sektor minyak dan gas bumi (migas), yang merupakan salah satu pilar utama dalam pencapaian kemandirian energi nasional sebagaimana termuat dalam Asta Cita Ke-2 Pemerintah.
Dalam kegiatan tersebut, sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang keilmuan dan instansi memaparkan perspektif hukum, kebijakan, dan teknis terhadap tata kelola migas di Indonesia.
Ketua Tim Anev BPHN, Dwi Agustine Kurniasih, S.H., M.H., membuka paparan dengan menekankan pentingnya penyederhanaan regulasi dalam restrukturisasi perizinan migas, penyempurnaan skema kontrak bagi hasil, serta penguatan kelembagaan pengawasan sektor migas agar lebih efisien dan adaptif terhadap kebutuhan industri energi modern.
Sementara itu, Prof. Dr. Tri Hayati, S.H., M.H., menyoroti aspek keadilan dan perlindungan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam migas, termasuk tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan dan perlindungan masyarakat hukum adat di sekitar wilayah eksplorasi migas.
Dari sisi daerah, Ir. Reskiansyah, ST., MM., Plt. Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memaparkan tantangan nyata dalam pengawasan distribusi BBM bersubsidi di wilayah kepulauan, keterbatasan kewenangan daerah pasca-berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014, serta perlunya dukungan anggaran dan koordinasi lintas instansi untuk memastikan distribusi energi berjalan tepat sasaran.
Adapun akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Jeanne Darc Noviayanti Manik, M.H., turut menguraikan perbandingan antara skema Cost Recovery dan Gross Split, serta urgensi kepastian hukum yang menjadi salah satu faktor utama penentu daya tarik investasi sektor hulu migas di Indonesia.
Dari hasil diskusi yang berkembang, terdapat lima rekomendasi penting yang mengemuka:
1. Perlunya pembentukan struktur vertikal BPH Migas di daerah untuk memperkuat pengawasan distribusi BBM bersubsidi.
2. Restrukturisasi kelembagaan antara Kementerian ESDM dan BPH Migas guna menghilangkan tumpang tindih kewenangan.
3. Penyatuan skema kontrak migas agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan menurunkan minat investor.
4. Penyederhanaan sistem perizinan sektor migas untuk mempercepat realisasi investasi dan produksi energi nasional.
5. Revisi menyeluruh terhadap UU Migas, dengan penekanan pada aspek keberlanjutan, perlindungan lingkungan, dan pemanfaatan gas bumi dalam negeri.

Menanggapi kegiatan tersebut, Kepala Kanwil Kemenkum Sulteng, Rakhmat Renaldy, menyampaikan bahwa analisis dan evaluasi hukum di sektor energi seperti ini sangat penting untuk memastikan kebijakan nasional berjalan dengan dasar hukum yang kokoh dan berpihak pada kepentingan rakyat. “Swasembada energi bukan hanya soal produksi dan eksplorasi, tetapi juga tentang bagaimana hukum hadir memberikan arah dan kepastian bagi semua pihak — pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat,” ujarnya.
Rakhmat Renaldy menegaskan bahwa reformasi regulasi migas harus mengedepankan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan keberlanjutan. “Kemenkum Sulteng mendukung penuh upaya BPHN dalam mengkaji ulang regulasi sektor energi, agar setiap kebijakan mampu menciptakan efisiensi, transparansi, serta menjamin perlindungan lingkungan dan hak masyarakat,” tegasnya.
Melalui partisipasi dalam kegiatan ini, Kanwil Kemenkum Sulteng memperkuat komitmennya sebagai perpanjangan tangan BPHN di daerah, untuk memastikan setiap rekomendasi hasil Anev dapat menjadi dasar dalam penyusunan regulasi yang lebih responsif dan berpihak pada kepentingan nasional menuju Indonesia swasembada energi.
HUMAS KEMENKUM SULTENG
